Topeng Cirebon biasanya terbuat dari
bahan kayu lunak sehingga mudah dibentuk, misalnya kayu Jaran, kayu Waru, kayu
Mangga ataupun kayu Lame. Meski terbuat dari bahan yang lunak, tetap dibutuhkan
ketekunan, ketelitian dalam pembuatannya.
Bahkan bagi seorang pengrajin ahli,
membuat satu topeng membutuhkan waktu hingga satu hari. Disamping adanya proses
pewarisan keahlian dari generasi ke generasi, kelestarian tradisi pembuatan
topeng berkembang seiring dengan perkembangan kesenian yang menggunakannya,
diantaranya adalah Tari Topeng Cirebon.
Sebagai sebuah karya seni, topeng dibuat
bukan hanya dipandang sebagai kedok penutup wajah. Dalam filosofi kebudayaan
Cirebon, topeng lebih berfungsi sebagai hiasan bagian depan sorban atau penutup
kepala.
Istilah topeng sendiri dalam lingkup
masyarakat Cirebon terbentuk dari dua kata yakni “ketop-ketop” yang
berarti berkilauan dan “gepeng” yang berarti pipih. Kedua istilah
tersebut mewakili sebuah elemen yang ada di bagian muka sobrah atau tekes,
yaitu hiasan di kepala sang penari.
Topeng Cirebonan hadir dalam beragam
jenis, namun ada lima topeng utama yang biasa ditampilkan dan dikenal dengan
Topeng Panca Wanda (topeng lima wanda atau lima rupa), diantaranya sebagai
berikut :
- Topeng Panji : Berwajah putih bersih sebagai penggambaran kesucian bayi yang baru lahir.
- Topeng Samba (Pamindo) : Mewakili wajah anak-anak yang ceria, lucu dan lincah.
- Topeng Rumyang : Dibentuk untuk melambangkan seorang remaja.
- Topeng Patih (Tumenggung) : Mewakili wajah kedewasaan, berkarakter tegas, berkepribadian dan bertanggung jawab.
- Topeng Kelana (Rahwana) : Dibentuk sedemikian rupa untuk menggambarkan seseorang yang sedang marah.
Selain Topeng Panca Wanda diatas, pada
era sebelum 70-an terdapat topeng-topeng lain sebagai pelengkap babak dalam
pagelaran tari Topeng Cirebon.
Diantara topeng-topeng pelengkap adalah
Tembem, Pratajaya, Prasanta, Sabdapalon, Pentul, Sadugawe, Nayagenggong/Gareng,
Sentingpraya, serta Ngabehi Subakrama.
Komentar
Posting Komentar