Tari Topeng Cirebon Berusaha Bertahan Dari Kepunahan
"Semoga
kesenian ini tetap ada karena banyak hal yang bisa kita dapatkan dan pelajari
dari tarian ini," kata Sujana Arja, salah seorang maestro tari topeng
irebon dalam percakapan dengan Kompas belum lama ini.
Hal itulah
yang tetap dicoba oleh tarian topeng Cirebonan sebagai bentuk khas kesenian
asli Cirebon. Hingga saat ini,n kesenian itu jatuh bangun mempertahankan
keasliannya.
Ironisnya,
beberapa aliran atau gaya turunan tari topeng Cirebon hampir punah, bahkan
beberapa di antaranya sudah punah. Sebagian seniman dari aliran tari topeng
Cirebon ada yang mencoba mempertahankannya.
Sering kali
mereka dianggap kuno. Bahkan, beberapa maestro yang masih eksis, hidupnya pun
jauh dari layaknya seorang maestro seni.
Menurut
Sujana, tradisi yang ada pada tari topeng sudah tidak sama dengan waktu ketika
ia menari dulu.
Selain banyak
orang yang hanya asal bisa menarikan dan tuntutan masyarakat agar tari topeng
diubah atau dimodifikasi, ternyata ada banyak tata cara dan tradisi yang harus
dihilangkan mengikuti arahan pemerintah.
Ada tiga
hal yang harus diubah oleh Sujana beserta kelompok tarinya, yaitu ketentuan
tidak boleh ngamen dari rumah ke rumah atau lazim dikenal dengan istilah
bebarang, tidak boleh pakai kaus kaki ketika menari, dan harus mengganti baju
berwarna hitam dengan baju yang lebih meriah. Menyebarkan agama
Pada
awalnya, tari topeng digunakan untuk menyebarkan agama dengan datang ke rumah
seseorang dengan mengharapkan pemilik rumah bisa membawakan doa syahadat.
Namun dalam
perkembangannya, pembacaan syahadat memang tidak dikembangkan lagi, tapi
diganti dengan bebarang ketika musim panen padi tiba.
Bila musim
panen tiba,Sujana dan kelompok tarinya datang dari rumah ke rumah untuk
mengamen. Ketika itu, mereka dibayar dengan padi sistem bakdeng, satu bedeng
atau sekitar 30 kilogram padi untuk satu babak.
Selain itu,
pemakaian kaus kaki putih juga dilarang. Pasalnya, pemerintah menganggap kaus
kaki putih adalah simbol orang-orang penganut komunis.
Padahal,
kaus kaki putih tersebut merupakan simbol kesucian seseorang, lebih dari
sekadar aksesoris. Seorang dalang yang akan menari harus suci hati dan
pikirannya. Dalam hal ini disimbolkan dengan kaus kaki berwarna putih.
Sedangkan
aturan baru lainnya adalah perihal baju yang harus dibuat lebih berwarna, tidak
polosan dengan warna hitam.
Padahal
awalnya, warna polos itu menyimbolkan kesederhanaan bagi dalangnya agar
nantinya para penonton tari tersebut dapat meniru cara hidup sederhana.
"Saya
waktu itu sampai sekarang ikut saja. Padahal, saya tahu kalau diubah, pastinya
ada pesan tertentu yang akan hilang. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga orang
takut," ujar Sujana Arja.
Akan
tetapi, gagasan perubahan yang digulirkan tidak sejalan dengan nasib tari
topeng Cirebon. Akhir-akhir ini, sajian tari topeng Sujana beserta kelompok
tari Panji Dharma mulai ditinggalkan masyarakat.
"Terakhir
kali menerima order bayaran Rp 30 juta. Tapi sekarang uangnya sudah habis
karena harus dibagi rata dengan personel lainnya yang jumlahnya sekitar 30
orang. Kalau sudah begitu, saya terpaksa utang tetangga karena sudah tidak ada
yang tersisa dari saya untuk membiayai hidup sehari-hari," katanya. Harus
bersaing
Menurut Inu
Kertapati-dalang tari topeng lainnya-berbeda dengan dulu, setiap hari selalu
saja ada orang yang memintanya untuk menarikan tari topeng. Baik khitanan,
pernikahan, maupun selamatan rumah, biasanya tari topeng selalu hadir dan
diminati masyarakat.
"Kami
sangat sadar kalau sekarang kami harus bersaing dengan kesenian yang kata orang
lebih baru seperti modern dance atau organ tunggal. Tapi apakah suatu kesalahan
bila kami ingin tetap pertahankan tradisi turun-temurun ini" ujar Inu,
anak ketiga dari Sujana Arja.
Selain itu,
menurut Inu, kepunahan tari topeng bisa saja lebih cepat terjadi. Pasalnya,
selama ini tari topeng Cirebon hanya ditampilkan pada waktu tertentu. Akibatnya
minat dan pengetahuan masyarakat terhadap tari topeng semakin berkurang.
Tari topeng
biasanya hanya muncul saat even kejuaraan dan acara yang diselenggarakan pihak
Keraton di Cirebon. Di luar itu, tari topeng masih sulit ditemukan.
Biaya yang
mahal dan adanya kesenian lain yang lebih modern membuat masyarakat mulai
meninggalkan tari topeng Cirebon. Kesenian di Jawa Barat setidaknya memiliki 35
rumpun seni, yang terdiri dari 391 jenis kesenian. Dari jumlah itu, 100 jenis
kesenian berkembang di masyarakat, 39 di antaranya sangat berkembang.
Kesenian
yang sangat terkenal di Jabar adalah Jaipongan. Kesenian ini berkembang, antara
lain di Kota Bandung, Cimahi, Tasikmalaya, Majalengka dan Bekasi.
Kesenian
lain yang menjadi ciri khas Jabar adalah tembang sunda, tayub, wayang golek,
reog, calung, angklung/arumba, dan sintren. Di wilayah Cirebon terkenal dengan
kesenian topeng Cirebon, tarling, gembyung, dan wayang kulit. Sementara untuk
daerah Kuningan dan Indramayu jenis kesenian seperti sandiwara, sintren, kuda
lumping juga berkembang baik.
Sementara
di Sukabumi, potensi seni yang ada antara, lain uyeg, cador, kliningan, kecapi
suling, calung, debus, dan ketuk tilu.
Adapun
kesenian yang berkembang di Karawang dan Subang, antara lain bajidoran,
dombret, dan kesenian sisingaan. Jumlah seniman di Jabar sebanyak 49.023 orang
dan hingga kini masih aktif.
Seniman
yang tinggal di daerah Bandung 6.652 orang, Cianjur 5.347 orang, dan di
Sumedang 5.190 orang. (D01/DB01/LITBANG KOMPAS)
http://cirebonkotaku.blogspot.com/2008/09/tari-topeng-cirebon-berusaha-bertahan.html
Komentar
Posting Komentar