SEJARAH TARI TOPENG CIREON




Para Dalang Topeng Cirebon menyebutkan bahwa Topeng yang sekarang diwarisi masyarakat Cirebon diciptakan oleh Sunan Panggung. Sunan Panggung ini diyakini sebagai Sunan Kali Jaga. Bahkan Babad Cirebon menyebutkan bahwa Sunan Panggung adalah putera Sunan Kali Jaga yang oleh Sultan Demak diangkat menjadi Pangeran yang mengurusi pertunjukan Wayang dan Topeng. Sunan Panggung menurunkan keahliannya kepada Pangeran Bagusan dan tokoh inilah yang mengajarkan anak cucunya seni Topeng dan Wayang yang berfungsi sebagai tuntunan dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat.
Adapun menurut buku yang berjudul “Cirebon falsafah, tradisi dan adat budaya” karya Mohammed Sugianto Prawiraredja, Tari Topeng konon diciptakan oleh Ki Danalaya, salah seorang murid Sunan Kali Jaga, yang kemudian mewariskannya kepada tokoh-tokoh Seniman Cirebon. Pada masa sekarang terdapat dua Cengkok (gaya) dalam pementasan seni Tari Topeng, yaitu Cengkok Arjawinangun (Slangit) dan Cengkok Losari (astanalanggar). Tari Topeng Cirebon yang disebut Topeng Babakan (tahapan) karena terdiri dari empat babak (tahapan) yang menampilkan empat tokoh berlainan karakter, yaitu Panji, Samba, (Pamindo), Patih (Tumenggung) dan Klana (Rahwana). Masing-masing tokoh melambangkan perjalan hidup manusia dari mulai masa bayi, kanak-kanak, remaja dan dewasa.
Pada saat berkuasanya Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Islam di Cirebon, maka datanglah percobaan untuk meruntuhkan kekuasaan Cirebon di Jawa Barat. Tokoh pelakunya adalah Pangeran Welang dari daerah Karawang. Tokoh ini ternyata sangat sakti dan memiliki pusaka sebuah pedang bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta para pendukungnya tidak ada yang bisa menandingi kesaktian Pangeran Welang. Dalam keadaan kritis maka diputuskan bahwa untuk menghadapi musuh yang demikian saktinya harus dihadapi dengan diplomasi kesenian. Setelah disepakati bersama antara Sunan Gunung Jati, Pangeran Cakra Buana dan Sunan Kali Jaga maka terbentuklah tim kesenian dengan Penari yang sangat cantik, yaitu Nyi Mas Ganda Sari dengan syarat Penarinya memakai Kedok/Topeng. Mulailah tim kesenian ini mengadakan pertunjukan ke setiap tempat seperti lazimnya sekarang disebut Ngamen. Dalam waktu singkat tim kesenian ini menjadi terkenal sehingga Pangeran Welang pun penasaran dan tertarik untuk menontonnya. Setelah Pangeran Welang menyaksikan sendiri kebolehan sang Penari, seketika itu pula dia jatuh cinta. Nyi Mas Ganda Sari pun berpura-pura menyambut cintanya dan pada saat Pangeran Welang melamar maka Nyi Mas Ganda Sari minta dilamar dengan pedang Curug Sewu. Pangeran Welang tanpa pikir panjang menyerahan pedang pusaka tersebut, bersamaan dengan itu maka hilang semua kesaktian Pangeran Welang. Dalam keadaan lemah lunglai tidak berdaya Pangeran Welang menyerah total kepada sang Penari Nyi Mas Gandasari dan memohon ampun kepada Sunan Gunung Jati agar tidak dibunuh. Sunan Gunung Jati memberi ampun dengan syarat harus memeluk agama Islam.
Setelah memeluk agama Islam Pangeran Welang dijadikan petugas Pemungut Cukai dan dia berganti nama menjadi Pangeran Graksan. Sedangkan para pengikut Pangeran Welang yang tidak mau memeluk agama Islam tetapi ingin tinggal di Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk menjaga Keraton-Keraton Cirebon dan sekitarnya.
Topeng sebagai media komunikasi pendidikan yang meleburkan diri dengan tarian yang diiringi dengan Gamelan. Drama dan tarian ini bermula dari pusat-pusat kegiatan seni budaya, yaitu di istana dan tempat tinggal para Bangsawan. Lakon cerita yang dipertunjukkan biasanya bersumber pada siklus Ramayana dan Mahabarata. Sebagai karya seni istana dengan ketentuan-ketentuan kaidah seni yang serba mengikat, maka pembuatan dan wujud Topeng dikenakan peraturan-peraturan. Karena bakat seni yang berbeda di pusat-pusat kesenian tersebut, maka timbul perbedaan gaya Topeng yang kemudian berpengaruh terus dalam perkembangan Topeng pada zaman Islam. Perbedaan gaya tersebut tampak pada unsur-unsur ekspresi dan ungkapan artistik seperti pada warna, garis dan atribut Topeng. Ekspresi Topeng adalah pencerminan dari wajah kedalam perlambangan tipologis. Para Sultan dan Bangsawan pada zaman Islam lama sesuai dengan tradisi kebudayaan istana, terus berusaha untuk mengembangkan dan menyempurnakan tarian Topeng yang telah dirintis pada zaman sebelumnya. Usaha ini disertai dengan memasukkan ajaran hidup berdasarkan agama Islam yang disesuaikan dengan falsafah agama masa lampau.
Ketika Raja-raja Cirebon diberi status ″pegawai″ oleh Gubernur Jenderal Daendels dan tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para Abdi Dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari pemerintah Hindia Belanda. Begitulah Penari-Penari dan Penabuh Gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-Keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat Petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat.
Semua Seniman yang berada di luar Keraton masih tetap menjalin suatu ikatan yang berdasar pada pola pikir bahwa Keraton adalah sumber budaya dan sumbernya para Guru Seni. Pengembangan seni Tari Topeng sejak masa itu di dalam Keraton sendiri kurang menggembirakan sehingga apabila Keraton memerlukan Penari Topeng dengan terpaksa mengambil dari desa-desa. Pada kurun waktu yang lama di Keraton tidak lagi mempunyai Penari, Nayaga, Dalang, Pengukir, Penyungging yang langsung keturunan Keraton. Baru setelah pemerintah mengalahkan budaya daerah maka pihak Keraton mulai banyak yang belajar menari Topeng, memukul Gamelan dan seni lainnya. Gurunya tetap mengambil dari desa-desa.

Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan lautan. Konsep tersebut digambarkan lewat Tari Panji yang merupakan masterpiece rangkaian lima tarian Topeng Cirebon. Meskipun ditampilkan pertama tetapi tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan. Inilah sebabnya Kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan Gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Itulah puncak Topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu. Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya kedalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang” dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya Kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah tua). Gerak Tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa Raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan Topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para Dalang Topeng di daerah Cirebon. Tarian juga harus didahului oleh persedian sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesahan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai Bedak, Sisir, Cermin, yang merupakan lambang Perempuan, didampingi oleh Cerutu atau Rokok sebagai lambang Lelaki. Bubur Merah lambang dunia Manusia, Bubur Putih lambang dunia Atas. Cowek Batu yang kasar sebagai lambang Lelaki, Buah Jambu lambang Perempuan. Air Kopi lambang Dunia Bawah, Air Putih lambang Dunia Atas, Air Teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

Komentar